Keperawatan Anak

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GANGGUAN THALASEMIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Thalasemia memang kurang populer. Namun, bukan berarti tak ada penderita penyakit ini di sekitar kita. Dengan perawatan yang baik, penderita thalasemia bisa melakukan aktivitas layaknya orang normal. Tapi jika tidak, thalasemia bisa merenggut nyawa. Karena kurang populer, orang pada umumnya tidak paham gejala thalasemia. Mereka juga tidak tahu cara mendeteksi penyakit ini secara dini. Deteksi dini merupakan hal yang sangat penting. Sebab, jika terdeteksi secara dini, penanganan penyakit pun bisa dilakukan sedini mungkin. Hasilnya tentu lebih baik dibanding jika penanganan dilakukan ketika perjalanan penyakit sudah lanjut.
Saat ini thalasemia merupakan penyakit keturunan yang paling banyak di dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, diperkirakan jumlah pembawa sifat thalasemia sekitar 5-6 persen dari jumlah populasi. Jumlah pembawa sifat ini berbeda-beda dari satu propinsi ke propinsi lain. Yang tertinggi, Palembang; 10 persen. Menyusul kemudian, Ujung Pandang; 7,8 persen, Ambon; 5,8 persen, Jawa; 3-4 persen, Sumatera Utara; 1-1,5 persen.  
 Penyakit thalasemia dapat dideteksi sejak bayi masih di dalam kandungan. Seperti dijelaskan Dr Suthat Fucharoen dari Pusat Studi Thalasemia Universitas Mahidol, Thailand, dalam simposium thalasemia di Jakarta, belum lama ini, jika suami atau istri merupakan pembawa sifat (carrier) thalasemia, maka anak mereka memiliki kemungkinan sebesar 25 persen untuk menderita thalasemia. Karena itu, ketika sang istri mengandung, disarankan untuk melakukan tes darah di laboratorium untuk memastikan apakah janinnya mengidap thalasemia atau tidak.


1.2 TUJUAN
Makalah ini disusun dengan tujuan :
1.      Mempelajari lebih dalam tentang thalasemia
2.      Mengetahui tentang implikasi keperawatan yang sesuai terkait dengan thalasemia
3.      Menjelaskan secara detail tentang thalasemia dan penanganan yang utama pada penderita.
        

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan yang ditandai oleh  efisiensi produksi rantai globin pada hemoglobin.
Thalassemia adalah suatu penyakit congenital herediter yang diturunkan secara autosom berdasarkan kelainan hemoglobin, di mana satu atau lebih rantai polipeptida hemoglobin kurang atau tidak terbentuk sehingga mengakibatkan terjadinya anemia hemolitik (Broyles, 1997).
Thalasemia dapat terjadi pada keturunan dari etnik manapun, tetapi paling umum ditemukan pada keturunan mediteran. Kondisi ini terjadi jika gen yang bertanggung jawab untuk produksi globin mengalami kerusakan. Seseorang yang diwarisi gen ini dari kedua orang tuanya dianggap mengalami talasemia mayor, sedangkan seseorang yang diwarisi gen ini hanya dari salah satu orang tua dikatakan membawa sifat talasemia.

2.2        MACAM-MACAM THALASEMIA
Secara molekuler, talasemia dibedakan atas:
a)      Talasemia alfa (gangguan pembentukan rantai alfa)
b)      Talasemia beta ( gangguan pembentukan rantai beta)
c)      Talasemia beta-delta (gangguan pembentukan rantai beta dan delta)
d)     Talasemia delta (gangguan pembentukan rantai delta).
Secara kinis, talasemia dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
a)      Talasemia mayor (bentuk homozigot), memiliki 2 gen cacat, memberikan gejala klinis yang jelas.
b)      Talasemia minor, dimana seseorang memiliki 1 gen cacat dan biasanya tidak memberikan gejala klinis.


2.3        ETIOLOGI THALASEMIA
a.      Thalassemia alfa minor: kelainan ini biasanya disebabkan kurangnya atau gangguan pada 1 atau 2 rantai protein alfa, tetapi kekurangannya hanya dalam tingkat rendah
b.      Thalassemia alma mayor: pada kondisi ini terjadi gangguan pada 4 rantai globin alfa atau tidak ada rantai globulin yang dibentuk sehingga tidak ada Hb A dan HbF yang diproduksi.
c.       Thalassemia beta minor: kelainan ini diakibatkan kekurangan protein beta. Namun, kekurangannya tidak terlalu signifikan.
d.      Thalassemia beta mayor: kelainan ini disebabkan tubuh sangat sedikit memproduksi protein beta sehingga hemoglobin yang terbentik cacat atau abnormal

2.4        PATOFISIOLOGI
Mengenai dasar kelainan pada thalasemia berlaku secara umum yaitu kelainan thalasemia alfa disebabkan oleh delesi gen (terhapus karena kecelakaan gen) yang mengatur produksi tetramer globin, sedangkan pada thalasemia beta karena adanya mutasi gen tersebut.
Pada thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggun karena tidak memerlukan rantai beta justru memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal sebagai usaha kompensasi. Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai karena tidak ada pasangannya akan mengendap pada dinding eritrosit dan menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan eritrosit memberi gambaran anemia hipokrom dan mikrositer.
Eritropoesis dalam sumsum tulang sangat gesit, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai normal. Destruksi eritrosit dan prekursornya dalam sumsum tulang adalah luas dan masa hidup eritrosit memendek serta didapat pula tanda-tanda anemia hemolitik ringan.
Thalasemia dan hemoglobinopati adalah contoh khas untuk penyakit/kelainan yang bedasarkan defek/kelainan hanya satu gen.

2.5        MANIFESTASI KLINIS
Berdasarkan gejala klinisthalasemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan, yaitu mayor, intermedia dan minor (pembawa sifat). Batasan di antara tingkatan tersebut sangat tidak jelas.
a.       Pada thalassemia mayor, gejala klinis berupa muka mongoloid, pertumbuhan badan kurang sempurna (pendek), pembesaran hati dan limpa, perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsuk merah berupa deformitas dan fraktur spontan. Pertumbuhan gigi biasanya buruk, sering disertai rerefaksi tulang rahang, anemia berat dan mulai muncul gejalanya pada usia beberapa bulan  serta menjadi jelas pada usia 2 tahun. Icterus jarang terjadi dan bila ada biasanya ringan.
b.      Pada thalassemia intermedia umumnya tidak ada splenomegaly. Dan bila terjadi anemia ringan, maka disebabkan oleh masa hidup eritrosit yang memendek.
c.       Sedangkan pada thalassemia minor umumnya tidak dijukpai gejala klinis yang khas.
Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin (keterlambatan dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder), pancreas (diabetes), hati (sirosis), otot jantung (aritmia, gangguan hantaran, gagal jantung), dan pericardium (perikerditis).

2.6        PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a)      Drah tepi : kadar Hb rendah, retikulosit tinggi, jumlah trombosit dalam batas normal
b)      Hapusan darah tepi : hipokrom mikrositer,anisofolkilositosis, polikromasia sel target, normoblas.pregmentosit
c)      Fungsi sum sum tulang : hyperplasia normoblastik
d)     Kadar besi serum meningkat
e)      Bilirubin indirect meningkat
f)       Kadar Hb Fe meningkat pada thalassemia mayor
g)      Kadar Hb A2 meningkat pada thalassemia minor


2.7        PENATALAKSANAAN
a)      Medikamentosa
1.      Pemberian iron chelating agent (desferoxamine) diberikan setelah kadar ferritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau transferrin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfuse darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat bada/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal waktu selama 5 hari berturut setiap selesai transfuse darah.
2.      Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian khelasi besi, untuk meningkatkan efek khelasi besi.
3.      Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
4.      Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.
b)      Pemberian tranfusi darah berupa sel darah merah diberikan jika kadar Hb telah rendah (kurang dari 6 g%) atau bila anak mengeluh tidak mau makan dan lemah sampai kadar Hb sekitar 11 g/dl. Kadar setinggi ini akan mengurangi kegiatan hemopoesis yang berlebihan dalam sumsum tulang dan juga mengurangi absorsi Fe dari traktus digestivus. Sebaiknya darah tranfusi tersimpan kurang dari 7 hari dan mengandung leukosit serendah-rendahnya.

2.8        KOMPLIKASI
Pada talasemia minor, memiliki gejala ringan dan hanya menjadi pembawa sifat. Sedangkan pada thalasemia mayor, tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga harus mendapatkan tranfusi darah seumur hidup. Ironisnya, transfusi darah pun bukan tanpa risiko. "Risikonya terjadi pemindahan penyakit dari darah donor ke penerima, misalnya, penyakit Hepatitis B, Hepatitis C, atau HIV. Reaksi transfusi juga bisa membuat penderita menggigil dan panas.
Yang lebih berbahaya, karena memerlukan transfusi darah seumur hidup, maka anak bisa menderita kelebihan zat besi karena transfusi yang terus menerus tadi. Akibatnya, terjadi deposit zat besi. "Karena jumlahnya yang berlebih, maka zat besi ini akhirnya ditempatkan di mana-mana." Misalnya, di kulit yang mengakibatkan kulit penderita menjadi hitam. Deposit zat besi juga bisa merembet ke jantung, hati, ginjal, paru, dan alat kelamin sekunder, sehingga terjadi gangguan fungsi organ. Misalnya, tak bisa menstruasi pada anak perempuan karena ovariumnya terganggu. Jika mengenai kelenjar ginjal, maka anak akan menderita diabetes atau kencing manis. Tumpukan zat besi juga bisa terjadi di lever yang bisa mengakibatkan kematian. "Jadi, ironisnya, penderita diselamatkan oleh darah tetapi dibunuh oleh darah juga.
Infeksi sering terjadi dan dapat berlangsung fatal pada masa anak-anak. Pada orang dewasa menurunnya faal paru dan ginjal dapat berlangsung progresif kolelikiasis sering dijumpai, komplikasi lain seperti: Infark tulang, Nekrosis, Aseptic kapur femoralis, Asteomilitis (terutama salmonella), Hematuria sering berulang-ulang.

2.9        PENCEGAHAN
a.    Pencegahan primer
Penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk mencegah perkawinan diantara pasien Thalasemia agar tidak mendapatkan keturunan yang homozigot. Perkawinan antara 2 hetarozigot (carrier) menghasilkan keturunan : 25 % Thalasemia (homozigot), 50 % carrier (heterozigot) dan 25 normal.
b.   Pencegahan sekunder
Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri dengan Thalasemia heterozigot salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengan sperma berasal dari donor yang bebas dan Thalasemia troit. Kelahiran kasus homozigot terhindari, tetapi 50 % dari anak yang lahir adalah carrier, sedangkan 50% lainnya normal. Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion merupakan suatu kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot intra-uterin sehingga dapat dipertimbangkan tindakan abortus provokotus (Soeparman dkk, 1996).


DAFTAR  PUSTAKA
-Arif Mansjoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius, 2000
-Sacharin, Rossa M. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Edisi 1. Alih Bahasa R.F. Maulany. Jakarta : EGC, 1996.
-Suriadi, Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 1. Jakarta, 2001.
-Wong, Donna L, Christina Algiere Kasparisin, Caryn Stoer mer Hess. Clinical Manual Pediatric Nursing. Fourth edition. St. Louis : Mosby Year Book, 1996.
-Wong, Donna L, Shannon E. Perry, Marilyn J. Hockenberry. Maternal Child Nursing Care. St. Louis : Mosby Company, 2002.

Tidak ada komentar: